Tak sengaja saya membaca artikel seputar Bulan Bernalar di kompas, saya rasa sependapat dengan tulisan tersebut. Memang disadari bahwa budaya masyarakat yang berkembang saat ini memang tidak bernalar. Hal itu terlihat dari displin masyarakat di ruang publik serta sosial media informasi yang beredar di masyarakat.
Di ruang publik, kita kerap menemui masyarakat yang terbiasa melanggar aturan lalu lintas dan membahayakan masyarakat. Kita sering lihat orang sembarangan menyeberang, pemotor yang lawan arah, pemotor tanpa helm, pengemudi mobil yang masuk ke jalur busway dan sederet dosa masyrakat lainnya yang sering membuat kita misuh- misuh di jalan. Masyarakat kita terbukti tidak menggunakan nalarnya, mereka melakukan perbuatan tersebut atas dasar kenyamanan mereka sendiri sehingga mereka selalu membenarkan yang biasa bukannya membiasakan yang benar. Apabila ditegur para pelaku dosa tersebut malah protes balik " Kemarin -kemarin diam saja kenapa sekarang protes?". Alhasil masyarakat yang masih memiliki nalar hanya bisa mengelus dada dan berpikir yang waras mending ngalah saja. Lantas apa permasalahan selesai disitu saja?
Jalanan adalah cermin budaya masyarakat. Di luar persoalan sistem lalu lintas yang belum tertata dan buruknya infrastruktur, keruwetan di jalan menunjukkan banyak orang tidak memikirkan akibat dari tindakannya. Putusan atas berbagai hal diambil berdasarkan emosi, bukan pikiran rasional.
Di sosial media informasi kita bisa bercermin dari berita- berita yang disajikan. Berita yang disajikan dengan kemasan murahan, sesansional, tidak jauh dari skandal percintaan, politis, dan hanya untuk mengejar rating. Tidak heran masyarakat diluar sana mengenal masyarakat indonesia tidak jauh dari Eyang Subur,Eyang Aswong, Korupsi, dan keburukan lainnya dibanding prestasi masyarakat kita. Mahasiswa sebagai masyarakat terdidikpun bahkan tidak menunjukan budaya nalar. Lihat saja dari banyaknya demo mahasiswa yang berujung pada aksi anarkisme dan vandalisme. Bisa jadi ada mahasiswa yang memiliki budaya nalar namun ketika terjun ke dunia masyarakat akhirnya terseret arus budaya tidak bernalar itu juga.
Budaya nalar adalah termasuk didalamnya kemampuan untuk menghargai orang lain dan menjunjung etika penting dalam membangun hubungan dengan sesama. Kemampuan ini membuat seseorang sadar dan menghargai perbedaan setiap manusia. Tanpa kemampuan ini, orang akan sulit bekerja sama, berkomunikasi, dan membangun kepercayaan terhadap orang lain.
Jangan heran jika kita tidak merasa nyaman hidup bermasyarakat nyata kita berleha-leha membiarkan budaya tanpa nalar tumbuh subur di sekitar kita. Kita memang tidak bisa mengubah budaya masyrakat yang rusak itu tapi kita bisa memulai dari diri sendiri dan dari sekarang budaya bernalar itu. Budaya bernalar bisa kita muali dari melakukan perbuatan perbuatan jujur. Hal itu karena kejujuran terkait dengan kemampuan berpikir atau menalar. Kemampuan berpikir logis akan merangsang dan membiasakan korteks prefrontalis (Bagian otak ini berperan dalam pengambilan keputusan, termasuk tindakan menimbang, menganalisis, hingga memperhitungkan risiko, baik-buruk, maupun untung-rugi sebuah keputusan atau tindakan ) aktif bekerja. Jika kemampuan menalar tidak dibangun, proses pengambilan keputusan yang mendorong berbuat jujur juga tidak akan berkembang alhasil masyarakat kita ga maju- maju.
Berbeda dengan orang lain memang terasa aneh dan tidak menyenangkan namun apa bali hal itu berhubungan dengan kemampuan berbudaya nalar kenapa harus malu? Dengan membangun budaya nalar yang dimulai dari kita sendiri pastinya kita turut andil dalam membentuk kehidupan yang lebih baik.
Siapa yang ingin membiarkan anak dan cucunya tumbuh dan mengikuti kebudayaan tanpa nalar itu.? Mari kita mulai dari sekarang kemampuan kita unutk berpikir logis dan rasional.